Rabu, 17 Desember 2014

1

Asal-usul kata ALLAH dan fungsinya di dalam konstitusi Republik Indonesia


Pada alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 terdapat satu pengakuan yang penuh kesadaran tinggi bahwa power perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai pintu gerbang kemerdekaan pada hakikatnya tidak terlepas dari peran “rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Pun di dalam Pasal 9 UUD 1945, sebagaimana yang di atur di dalam Pasal itu, juga ditetapkan bahwa presiden (dan wakil presiden) bersumpah dengan nama“Allah”.

Bagi mereka para penganut ajaran agama di Indonesia yang tidak menggunakan asma Allah untuk menyebut Dzat mutlak; Pencipta alam semesta; yang mereka sembah, tentunya isi konstitusi itu akan memunculkan pertanyaan: apakah makna kata Allah itu dan kepada realitas apakah nama itu ditujukan? Untuk itulah uraian ini sedikit berguna.

Naskah Pembukaan UUD 1945
Naskah Pembukaan UUD 1945

Kata Allah, meskipun dalam bahasa Indonesia resmi ditulis dengan abjad A-L-L-A-H, namun di negeri yang ber-bhineka ini istilah tersebut dilafalkan berbeda-beda di setiap daerah. Perbedaan pelafalan itu secara mendasar disebabkan oleh faktor logat bahasa.

Kata Allah di Indonesia secara umum—yang mayoritasnya adalah penganut agama Islam yang sejak awalnya sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa—dilafalkan dengan bunyi “Awloh atau Aulloh”. Namun di suku Sunda yang juga mayoritas Islam melafalkannya dengan bunyi “Alloh”. Berbeda lagi dengan beberapa masyarakat di daerah Jawa yang melafalkan dengan “Owloh atau Oulloh”. Atau beberapa suku di Indonesia timur yang melafalkan dengan bunyi “Ala”, yang hampir mirip dengan yang dilafalkan oleh Isa al-Masih—seperti yang dituliskan di dalam kitab Injil—yang melafalkannya dengan bunyi “Eli”. Sedangkan pelafalan dengan bunyi “Allah” oleh masyarakat awam cenderung dipautkan kepada umat Kristiani, walaupun sebenarnya pelafalan demikian secara umum juga ada pada tingkat nasional yang logat kedaerahannya tidak kental lagi. Dan lebih jauh mayoritas umat agama Samawi dan Islam di penjuru dunia pun lebih cenderung melafalkannya dengan bunyi “Allah” dengan penulisan abjad yang sama.

Perbedaan pelafalan tersebut sebenarnya merupakan kewajaran yang bukan saja terjadi di Indonesia, namun di seluruh penjuru dunia yang beragam suku dan bangsa pun akan mengalami persoalan yang sama dalam hal ini diakibatkan oleh faktor logat bahasa yang berbeda-beda. Dan perbedaan pelafalan itu sejatinya tidak merubah apa yang mereka maknai. Walaupun orang Sunda terbiasa dengan logat “Alloh”, maka “Alloh” yang dimaksud oleh orang sunda tetap sama dengan “Awloh” atau “Owloh” yang dilafalkan oleh orang Jawa, dan juga sama dengan “Eli” yang dilafalkan oleh Yesus, atau yang dalam bahasa Indonesia resmi ditulis dengan abjad A-L-L-A-H.

Kata Allah adalah istilah yang sejak awal kemunculannya difungsikan untuk menyebut wujud tunggal yang tertinggi, yaitu satu-satunya wujud yang menciptakan seluruh alam semesta dan segala isinya. Wujud itulah sebagai satu-satunya wujud yang mutlak dijadikan fokus tujuan menyembah atau ibadah (mengabdi) oleh seluruh mahluk—yang di antaranya adalah manusia.

Menurut penjabaran harfiah, istilah Allah berasal dari bahasa Semitik yang terdiri dari kata Al (yang berarti Sang atau “The” dalam bahasa Inggris) dan Ilah (yang berarti “Sesembahan”). Jadi jika diterjemahkan secara gamblang ke dalam bahasa Indonesia, istilah Allah itu kurang lebih memiliki makna sebagai ‘realitas yang disembah’ (The God), atau juga berarti ‘selain Dia maka tiada lagi yang disembah’.

Namun ada juga golongan—khususnya dari penganut agama Islam—yang tidak setuju jika kata Allah itu dijabar-jabarkan, namun pada dasarnya mereka tetap setuju bahwa kata Allah adalah istilah yang berfungsi sebagai sebutan khusus bagi Sang Pencipta alam semesta yang seharusnya disembah, dan fungsi tersebut setidaknya juga mengindikasikan makna yang dikandungnya.

Di Indonesia secara umum istilah Allah lebih diidentikan dengan agama Islam, bahkan ada juga kelompok yang mengklaim bahwa istilah ini hanya milik khusus golongan Islam saja dengan melarang pihak non-Islam untuk menggunakannya. Namun penting diketahui bahwa istilah Allah sebenarnya telah ada dan digunakan di Arab jauh sebelum Islam diturunkan melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw (Al-Qur’an). Dan sebagaimana sekarang ini, istilah Allah di masa pra-Islam juga berfungsi untuk menyebut Sang Pencipta alam semesta yang seharusnya disembah.

Bukti yang menunjukkan bahwa kata Allah telah digunakan sebelum masa Islam itu juga ada tercatat di dalam kitab Al-Qur’an, yang menjelaskan bahwa kaum kafir di Mekah telah mengenal dan menggunakan kata Allah untuk menyebut kepada realitas yang Maha Kuasa di jagad raya:

Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapa yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentunya mereka akan menjawab: “Allah”.

Penggunaan kata Allah di Arab pada masa pra-Islam juga tampak dari nama-nama orang Arab di masa itu yang mengandung kata Allah, seperti nama Abdullah (Abd Allah) yang berarti abdi atau hamba Allah. Dan ayah dari Nabi Muhammad Saw. sendiri bernama Abdullah, semakin mengindikasikan bahwa kata Allah telah ada sejak sebelum nabi dilahirkan ke dunia. Selain itu, sejarah juga mencatat bahwa pada masa pra-Islam di Timur Tengah telah ada orang-orang yang menganut ajaran wahyu (Samawi) yang juga menyembah Sang Pencipta alam semesta yang disebut Allah, seperti yang dilakukan oleh penganut agama Yahudi, Nasrani dan juga kaum Hanif (yang dikenal sebagai penganut agama Nabi Ibrahim). Dan di dalam kitab suci Taurat, Bible (Perjanjian Lama) dan Injil, kita juga akan menemukan cukup banyak kata Allah yang disebutkan di situ.

Adapun di luar kebudayaan bangsa Semit (Yahudi) dan peradaban Arab, wujud tunggal Pencipta alam semesta yang patut disembah juga diyakini keberadaan-Nya, namun wujud itu tidak atau belum disebut dengan istilah Allah.

Jauh sebelumnya di Mesopotamia, yakni peradaban dimana rumpun Semitik bermula, orang-orang sudah mengenal nama ‘El’ atau ‘Il’ sebagai nama realitas tertinggi dalam pantheon Babilonia. Namun bagi sebagian besar keturunan Sem (di mana nama dan rumpun Semitik berasal), nama itu dimengerti sebagai wujud Pencipta alam semesta. Kata ‘El’ itulah yang kemudian juga berkembang menjadi kata ‘Eli’.

Sedangkan di Nusantara, dalam batu bersurat; Prasasti Terengganu yang bertahun 1326 M atau 1386 M, yaitu peninggalan tertua peradaban Islam di tanah Melayu yang dipercaya sebagai awal masuknya agama Islam di Nusantara, kata Allah disebut sebagai ‘Dewata Mulia Raya’. Hal itu ditengarai bahwa istilah Dewata Mulia Raya lebih bisa diterima di kalangan masyarakat Melayu waktu itu sebagai istilah yang mengacu kepada Sang Pencipta tunggal yang patut disembah.

Jadi, meskipun dilafalkan dalam istilah atau nama yang berbeda, namun secara makna mengacu pada realitas yang sama.

Adapun di dalam kebudayaan suku Toraja (Sulawesi Tengah) yang sudah terpengaruh oleh kebudayaan Islam, wujud tertinggi pencipta alam semesta disebut ‘Alatala’ (secara logis berasal dari kata Allah Ta’ala). Sedangkan dalam kebudayaan Dayak Ngaju di Kalimantan yang juga telah terpengaruh oleh Islam, Sang Pencipta disebut ‘Mahatala’.

Dalam kebudayaan Jawa yang masih erat dengan aroma ajaran Hindu-Budha yang pernah mengantarkan bangsa Jawa (Nusantara) kepada masa kejayaannya di masa lalu, wujud tunggal Pencipta alam semesta pernah disebut dengan istilah “Sang Hyang Tunggal”. Sang Hyang Tunggal adalah simbol dan penamaan yang pernah digunakan oleh Sunan Kali Jaga (Raden Sahid) sebagai perumpamaan Allah, yang beliau gunakan dalam cerita pewayangannya. Sunan Kali Jaga di masanya mendakwahkan ajaran Islam lewat seni pewayangan yang merupakan khasanah kebudayaan Jawa dan Nusantara umumnya. Dalam kebudayaan Jawa sendiri, nama ‘Sang Hyang Tunggal’ relatif masih dikenal dan digunakan sampai saat ini.

Di Indonesia juga masih ada banyak sistem keyakinan dari masa Nusantara (seperti Hindu, Budha, agama Jawa, agama Sunda dan lainnya) yang masih lestari hingga saat ini—yang sebagiannya ada pula yang telah mengalami proses sinkretik (penyelarasan atau penyesuaian) dengan sistem keyakinan yang lebih modern; terutama Islam. Seperti ajaran Sunda Wiwitan di Banten, Cigugur di Jawa Barat, Kejawen di Jawa Timur, Parmalim di Sumatera Utara, Naurus di pulau Seram (Maluku), dan Tolottang di Sulawesi Selatan, dll. Semua inti ajaran tersebut sejatinya menuntun pengabdian kepada wujud Tunggal Pencipta alam semesta; sebagai satu-satunya wujud yang patut disembah. Meskipun belum semuanya menyebut wujud yang patut disembah itu dengan istilah Allah secara seragam, namun apa yang disembah sejatinya adalah sama, yaitu wujud tunggal dan tertinggi yang menciptakan alam semesta dan segala isinya ini.

Maka dari istilah-istilah yang telah disebutkan di atas, dapat ditarik ke dalam satu titik temu untuk mendapatkan persamaan maknanya, yaitu:
  • Allah, adalah istilah yang digunakan oleh umat Islam dan umat agama Samawi umumnya, serta mayoritas masyarakat di Indonesia masa kini untuk menyebut wujud tunggal Pencipta alam semesta yang patut disembah.
  • Sang Hyang Tunggal yang berarti yang terbesar dan satu-satunya, yang oleh penduduk Jawa-Nusantara tujukan kepada wujud tunggal Pencipta alam semesta yang patut disembah, yang sekarang disebut Allah.
  • Dewata Mulia Raya, istilah yang digunakan oleh masyarakat Islam di Melayu masa lampau yang mengacu kepada Dzat yang Mahakuasa Pencipta langit dan bumi, yang sekarang pun disebut Allah.
Dan setelah disimpulkan ke satu titik temu, semua sebutan di atas sejatinya mengacu kepada wujud yang sama, yaitu wujud tunggal yang menciptakan alam semesta dan yang patut disembah. Maka secara hakikat tidak ada persoalan jika orang Jawa menyebut Sang Pencipta itu dengan istilah Sang Hyang Tunggal, atau orang Melayu menggunakan istilah Dewata Mulia Raya, sebab walaupun berbeda istilah namun hakikat yang dimaksud adalah sama. Ini seperti kita mendapati “kata ganti” di dalam Al-Qur’an seperti kata “Aku” dan “Dia” yang digunakan untuk menggantikan kedudukan Allah, walau pun kata Allah disebut dengan kosa kata yang berbeda, namun dalam objektivitas-nya tertuju pada wujud yang sama.

Tentunya tidak akan ada yang mempersoalkan jika Allah disebut dengan istilah “Aku” atau “Dia” bukan? Atau bila ada istilah-istilah seperti Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pencipta, Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang, dan seterusnya, maka orang yang beragama pasti akan setuju jika istilah-istilah itu mengacu kepada Sang Pencipta tunggal—yang juga disebut Allah.

Lebih dari itu, secara hakikat pun tidak ada persoalan jika orang Jawa atau orang Melayu kemudian menggunakan istilah Allah demi menyebut Sang Pencipta tunggal yang disembah, sekalipun orang tersebut tidak beridentitaskan agama Samawi tertentu di mata manusia secara formal (misalkan ber-KTP Islam, Kristen, dst). Dan juga tidak dapat dipersoalkan jika penganut agama Nasrani menggunakan istilah Allah demi menyebut wujud Maha Kuasa yang mengutus Isa al-Masih ke dunia, atau penganut agama Yahudi menyebut Ilah yang mengutus Ibrahim dan Musa dengan istilah Allah.
Malah sebaliknya, adalah tidak bijak jika ada golongan, misalnya umat Islam, yang dalam hal ini tiba-tiba saja memonopoli kata Allah sebagai milik golongan Islam saja dengan melarang penganut agama lain yang bukan ber-KTP atau beridentitaskan Islam secara formal untuk menggunakannya. Padahal kata Allah itu telah ada dan digunakan sebelum Islam diwahyukan melalui Nabi Muhammad Saw. Maka kata Allah itu bukanlah kata baru yang hadir dari langit bersamaan dengan diwahyukannya Al-Qur’an dan hanya dikhususkan bagi para pengikut nabi Muhammad saja, tetapi kata Allah itu bersifat universal dan telah ada sebelum Nabi Muhammad Saw. menerima wahyu.

Sebaliknya, sebagai contoh, melarang umat Nasrani menggunakan kata Allah yang padahal kata tersebut ditujukan kepada Ilah pencipta alam semesta yang berkuasa mengutus Isa al-Masih ke dunia untuk menyelamatkan umatnya, merupakan suatu bentuk kejahilan yang nyata. Sebab tindakan semacam itu sejatinya dapat merusak esensi-kebenaran dari ajaran Nasrani yang justru seharusnya diperjelas demi mengurangi permusuhan dan kekacauan antar umat beragama yang tengah terjadi dewasa ini akibat adanya salah pengertian.

Dengan keseluruhan uraian di atas, rasanya telah cukup jelas bahwa kata Allah adalah istilah yang tertuju pada wujud tunggal yang menciptakan alam semesta, sekaligus sebagai wujud yang mutlak dijadikan fokus tujuan ibadah oleh manusia. Dan istilah tersebut sejatinya memiliki sifat yang universal, dalam arti tidak dapat dibatasi sebagai milik golongan tertentu saja. Tetapi istilah tersebut secara hakikat dapat juga digunakan oleh seluruh mahluk yang diciptakan Sang Pencipta asalkan difungsikan secara tepat, yaitu hanya ditujukan kepada pribadi Sang Pencipta alam semesta saja.
Lalu bagaimana dengan fungsi kata Allah yang ada pada konstitusi Republik?

Seperti uraian di atas, maka penggunaan kata Allah dalam Konstitusi Republik (UUD 1945 dan Pembukaan-nya) itu pun secara objektif hanya tertuju pada wujud tunggal Pencipta alam semesta sekaligus sebagai Ilah yang mutlak disembah oleh manusia.

Kata Allah lah yang secara objektif telah digunakan sebagai kata ganti yang digunakan oleh konstitusi untuk mewakili istilah-istilah lain seperti ‘Alatala’, ‘Sang Hyang Tunggal’ atau ‘Dewata Mulia Raya’ yang juga ditujukan kepada Sang Pencipta alam semesta. Artinya hanya kata Allah itulah sebagai satu-satunya kata dalam konstitusi negara yang mengacu pada pengertian Ilah atau realitas yang disembah manusia. Dan dari sejarahnya, kata Allah juga lebih relevan dengan pengertian Ilah (God) dibandingkan kata Tuhan (yang berasal dari kata Tuha; luhur).

Pun dengan digunakannya kata Allah di dalam konstitusi itu, maka menurut hemat kami sebenarnya tidak perlu lagi diributkan tentang realitas yang seharusnya disembah oleh bangsa Indonesia.

Dengan analisa kata Allah di atas beserta penggunaannya di dalam konstitusi, menurut hemat kami, pada hakikatnya telah akan menggugurkan spekulasi terhadap istilah Tuhan yang selama ini cenderung dianggap sebagai kata ganti yang digunakan untuk mewakili nama-nama Ilah—khususnya penggunaannya di dalam konstitusi Republik. Bukan kata Tuhan yang digunakan untuk mewakili nama-nama Ilah di dalam konstitusi, melainkan adalah kata Allah.

Lagi pula, jika kata Tuhan itu tetapdiartikansebagai realitas yang disembaholeh manusia, maka dalam pembacaan naskah Pembukaan UUD 1945 akan menjadi berbelit-belit. Logikanya, jika kata Tuhan itu diartikan sebagairealitas yang disembah, sedangkan realitas yang disembah yang dimaksuditu adalah Allah, bukankah itu sangat berbelit-belit?

Padahal kata Allah secara jelas telah digunakan di dalam konstitusi. Dan kata Allah itu sendiri sudah jelas dan memiliki arti sebagai realitas yang disembah.

Maka jika yang dirangkum pada sila pertama Pancasila itu adalah soal realitas yang disembah, seharusnya bukan kata Tuhan yang digunakan di situ, melainkan kata Allah. Tetapi karena yang digunakan kata Tuhan—di samping juga ada penggunaan kata Allah, maka konsekuensinya kata Tuhan itu harus mengandung maknalain; yang bukan mengacu soal realitas yang disembah. Bukan monoteis ataupun politeis.

Oleh karena itu, di akhir uraian kata Allah ini, telah dapat disimpulkan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa—sebagai asas fundamen yang memimpin moral bangsa—bukanlah rumusan yang merangkum soal penetapan Ilah—yang disembah manusia. Karena soal penetapan Ilah itu sejatinya telah diperjelas di dalam konstitusi negara, yaitu dengan digunakannya kata Allah, yang dengan itu sekaligus mengukuhkan bahwa konstitusi negara mengimani peran dan eksistensi dari Sang Pencipta alam semesta yang mutlak dan patut disembah oleh seluruh alam.


dikutip dari : http://manusiapancasila.wordpress.com/2014/07/16/asal-usul-kata-allah-dan-fungsinya-di-dalam-konstitus-republik-indonesia/

1 komentar:

  1. Link asalnya sudah pindah ke sini gan:

    http://kursus-pancasila.kbaki.com

    Makin komplit dengan artikel-artikel Pancasila dan UUD yg lainnya

    Cekidot dan Salam Pancasila !!!

    BalasHapus